Beranda | Artikel
Kiat Menggapai Istiqamah
Minggu, 30 Agustus 2015

Buletin At-Tauhid edisi 30 Tahun XI

istiqomah

Istiqamah merupakan salah satu anugrah Allah terbesar dalam beragama setelah kita mendapatkan anugrah hidayah. Istiqamah beragama juga merupakan hal yang paling membutuhkan perjuangan, sebagaimana perkataan orang: “Mempertahankan lebih sulit daripada menggapai”. Allah menyebutkan keutamaan istiqamah dalam Al-Quran yaitu tidak merasa takut dan sedih serta mendapatkan janji berupa kegembiraan dan surga. Allah Ta’ala berfriman (artinya): “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30).

Begitu juga pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabatnya yang ingin diajarkan mengenai agama Islam dan hal tersebut bisa mencakup seluruh ajaran Islam. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan iman kepada Allah dan kemudian istiqamah. Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) Islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu (dalam hadits Abu Usamah dikatakan, “selain engkau”). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.” (HR. Muslim)

 

Berikut beberapa kiat-kiat agar kita bisa istiqamah dalam beragama

Pertama: mengilmui dan memahami makna syahadat dengan baik dan benar

Syahadat adalah dasar dalam agama. Kalimat ini tidak sekedar diucapkan akan tetapi kalimat ini mengandung makna yang sangat agung dan perlu dipelajari lebih dalam. Allah menjelaskan dalam Al-Quran bahwa kalimat syahadat akan meneguhkan seorang muslim untuk kehidupan dunia dan akhirat jika benar-benar mengilmui dan mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman (artinya) :“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Maksud dari “Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh …” sebagaimana dalam hadits berikut. “Jika seorang muslim ditanya di dalam kubur, lalu ia berikrar bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka inilah tafsir ayat: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Kedua: Mempelajari Al-Quran dan mengamalkannya

Tentu saja, karena Al-Quran adalah petunjuk hidup di dunia agar selamat dunia dan akhirat. Sebagaimana seseorang yang hendak pergi ke suatu tempat, tentu perlu petunjuk dan arahan berupa peta dan penunjuk jalannya. Jika tidak menggunakan peta dan tidak ada orang yang menunjukkan, tentu kemungkinan besar akan tersesat dan tidak akan sampai. Apalagi ternyata ia tidak tahu bagaimana cara membaca peta, tidak tahu cara mengunakan petunjuk yang ada serta tidak ada penunjuk jalan. Tentu tidak akan sampai dan tidak selamat.

Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang yang beriman dan sebagai petunjuk. Membacanya juga sebagai kekuatan dan memberi kemudahan untuk beramal shalih dan berakhlak mulia dengan izin Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102). Allah juga Ta’ala berfirman (artinya): “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44).

 

Ketiga: Berusaha tetap terus beramal walaupun sedikit

Ini adalah kuncinya, yaitu tetap beramal sebagai buah dari ilmu. Amal adalah tujuan kita berilmu dan bukan sekedar wawasan saja. Karenanya kita diperintahkan untuk tetap terus beramal meskipun sedikit dan ini adalah hal yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” (HR. Muslim).

Beramal banyak dan terlalu semangat namun tidak kontinu juga kurang baik, apalagi tanpa ada ilmu di dalam amal tersebut. Sehingga nampakanya seperti semangat di awal saja tetapi setelahnya kendur bahkan sudah tidak beramal lagi. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya, ”Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Keempat: berdoa dan memohon keistiqmahan dan keikhlasan

Tentunya tidak lupa kita berdoa agar bisa tetap istiqamah. Tetap istiqamah beramal dan beribadah sampai menemui kematian. Allah berfirman (artinya) :“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99). Doa ini sebaiknya sering kita ucapkan dan sudah selayaknya kita hapal. ‘Rabbanaa Laa Tuzigh Quluubanaa Ba’da Idz Hadaitanaa wa Hab Lanaa Min-Ladunka Rahmatan, innaka Antal-Wahhaab’. (artinya) “Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Dzat yang Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8).

Dan doa ini, ‘Ya Muqallibal Quluubi Tsabbit Qalbiy ‘Alaa Diinika’. Artinya : “Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. At-Tirmidzi, shahih). Dan masih banyak doa yang lainnya. Tidak lupa pula kita selalu berusaha dan berdoa agar kita ikhlas dalam beribadah dan beramal. Ikhlas hanya untuk Allah semata, jauh dari riya, pujian manusia dan tendensi dunia. Semoga kita selalu diberikan keikhlasan dan keistiqamahan dalam beramal.

 

Penulis : dr. Raehanul Bahraen (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

 

Ziyadah

 

Kesalahan-Kesalahan Makmum Dalam Shalat

Termasuk di antara manfaat yang dapat dipetik dari shalat berjamaah ialah saling memberikan pengajaran ilmu syar’i antar jama’ah satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya: Terkadang seseorang salah dalam tatacara shalat maka jama’ah lain yang tahu kemudian membenarkannya. Inilah rahmat yang Allah turunkan kepada umat ini lewat syari’at shalat berjamaah. Berikut ini akan kami sampaikan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi dalam praktek shalat berjamaah sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin secara umum.

 

Tidak Memperhatikan Kerapian dan Kelurusan Shaf

 

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang artinya, “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shaf yang paling buruk adalah yang paling akhir. Sedangkan shaf yang terbaik bagi wanita adalah paling belakang dan yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR. Muslim). Tapi sungguh sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan ini, bahkan mereka malah menghindari dan enggan untuk memposisikan diri pada shaf yang pertama, dengan mereka mempersilahkan orang lain untuk berada di shaf depan. Kaidah Fiqhiyah mengatakan: “Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah terlarang”.

Kesalahan lain yang banyak muncul adalah tidak meluruskan ataupun merapatkan shaf. Rasulullah bersabda yang artinya, “Luruskan shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari Muslim)

 

Mendahului Maupun Menyertai Gerakan Imam

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam merasa takut kalau Allah merubah kepalanya menjadi kepala keledai.” (HR. Bukhari, Muslim). “Sesungguhnya ubun-ubun orang yang merunduk dan mengangkat kepalanya mendahului imam berada di dalam genggaman setan.” (HR. Thabrani, hasan).

Adapun larangan membarengi gerakan imam maka dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika imam telah ruku’ maka ruku’-lah kalian dan jika imam bangkit maka bangkitlah kalian.” (HR. Bukhari). Dari hadits ini diambil kesimpulan terlarangnya mengakhirkan atau melambatkan gerakan dari imam. Adapun yang diperintahkan adalah mengikuti atau mengiringi gerakan imam.

 

Sibuk Dengan Berbagai Macam Doa Sebelum Takbiratul Ihram

 

Sering kali kita lihat sebagian kaum muslimin sebelum shalat menyibukkan melafalkan niat. Sebagian mereka membaca surat An Naas dengan dalih untuk menghilangkan was-was setan. Begitu juga ada makmum yang mengatakan: Sami’na wa ‘Atho’na ketika mendengar perintah untuk meluruskan shaf dari imam: Sawwuu shufuufakum! Padahal perintah dari imam tadi butuh pelaksanaan, bukan butuh jawaban. Sedangkan Rasulullah tidak mencontohkan hal tersebut. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah kaum muslimin bersegera meninggalkan segala macam tatacara ibadah yang tidak bersumber dari beliau.

 

Sibuk Dengan shalat Sunah Padahal Telah Iqomah

 

Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan shalat nafilah/sunnah ketika iqomat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai shalat sunnah baru dan tidak bergabung dengan shalat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya: “Apabila iqomah sudah dikumandangkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib.” (HR. Muslim)

 

Menarik Orang Lain di shaf Depannya Untuk Membuat shaf Baru

 

Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini bukan termasuk hadits yang shohih, maka perbuatan ini tidak boleh dilakukan bahkan dia wajib bergabung dengan shaf yang ada jika memungkinkan. Jika tidak maka boleh dia shalat sendiri di shaf yang baru, dan shalatnya dianggap sah karena Allah tidaklah membebani seorang kecuali sesuai kemampuannya (Lihat Silsilah Al Hadits Ash Shohihah wal Maudu’at). Wallahu A’lam.

 

Penulis: Abu ‘Abdillah R. Agus Hermawan

Artikel www.muslim.or.id (dengan sedikit perubahan oleh Redaksi)


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/kiat-menggapai-istiqamah/